Teori
elit dari Parreto adalah paradigma yang sesuai jika melihat bagaimana posisi
Golkar dalam transisi Pemerintahan Orde Baru menuju era Reformasi yang berdimensi
demokratis. Dalam teori elit yang dikemukakan Parreto bahwa Elit sebisa mungkin
mengupayakan agar kekuasaannya tetap langgeng. Tuntutan mundur Presiden
Soeharto menggema di mana-mana. Hal ini kemudian berimbas pada Golkar. Karena
Soeharto adalah penasehat partai, maka Golkar juga dituntut untuk dibubarkan.
Saat itu Golkar dicerca di mana-mana (partaigolkar.or.id diakses 03/10/2014). Setelah
Rezim Soeharto tumbang pada 21 Mei 1998, Golkar sebagai organisasi yang
berkuasa pada masa Orde Baru dalam masa Transisi ke reformasi mendapat berbagai
tekanan dari masyarakat luas yang memandang Partai Golkar sebagai Icon penopang kejayaan rezim Orde Baru (Pratiwi,
2012: 3) yang artinya mendukung Golkar sama saja dengan melanggengkan rezim
Orba yang hadir selama 32 tahun. Dalam masa Transisi
ini, Reformasi yang sebelumnya hanya berada pada tataran ide kini coba di
implementasikan dalam ranah pemerintahan baru. Semangat reformasi ini membuat
Golkar harus merubah paradigmanya untuk menatap masa depannya dalam ranah birokrasi
dan politik indonesia.
Krisis
ekonomi dan merosotnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Golkar
mempercepat pembaruan politik nasional. Dalam kondisi yang demikian, tidak ada
pilihan bagi Golkar kecuali mempercepat pembaruan internal (Jatmiko, 2010: 54).
Ditambah dengan BJ Habibie presiden RI sebagai pengganti Soeharto melakukan berbagai
perubahan di bidang politik diantaranya
mengeluarkan:
1. UU
Nomor 2 tahun 1999 tentang Partai Politik
2. UU
Nomor 3 tahun 1999 tentang Pemilihan Umum
3. UU
Nomor 4 tahun 1999 tentang MPR dan DPR (Sarimaya, 2009: 230)
Sebagai
organisasi yang memiliki ikatan kuat dengan ABRI dan Birokrasi maka Golkar
perlu untuk melakukan berbagai perubahan agar paradigma ini dapat dirubah
kepada masyarakat dan dengan di sahkannya UU tersebut maka Golkar yang pada
dasarnya bukan merupakan partai politik akan mulai mentransformasikan dirinya
menjadi partai politik agar sesuai dengan konstitusi sehingga bisa mengikuti
pemilihan umum.
Untuk
menghadapi transisi pemerintahan maka Golkar melakukan perubahan internal dan
salah satunya yaitu mengganti Harmoko yang menjadi ketua umum Golkar. Didalam
Golkar sendiri terjadi polarisasi dimana terdapat golongan yang mendukung
terhadap Soeharto dan yang mendukung Reformasi. Munaslub dan terpilihnya Akbar
Tanjung yang mendukung reformasi dan menjadi ketua umum Golkar dan Golkar
mendeklarasikan diri menjadi Partai Golkar 7 Maret 1998.
Sebagai
Ketua Umum Golkar yang baru maka Akbar Tanjung menyampaikan beberapa Paradigma
baru untuk partai Golkar. Menurut Akbar Tandjung,:
”Munaslub 1998 adalah momentum
penting dalam perjalanan Golkar. Golkar dengan sadar melakukan awal reformasi
dirinya, untuk kembali ke jati diri, visi, dan misi perjuangannya seperti yang
yang dipatrikan pada saat kelahiranya. Munaslub telah mengembalikan Golkar yang
selama Orde Baru telah terperosok hanya sekadar menjadi mesin politik penguasa,
menjadi alat pengumpul suara dalam pemilu, dan sekadar alat legitimasi penguasa
yang otoriter”(Jatmiko, 2010: 60)
Paradigma
yang dibangun partai Golkar pasca Munaslub 1998 adalah paradigma yang ingin
Partai Golkar untuk mendapatkan kembali kepercayaan rakyat bahwa golkar Pasca
Reformasi merupakan Golkar yang memiliki identitas berbeda yang pada masa Orba
hanya dijadikan mesin politik. Paradigma ABRI dan Birokrasi yang menjadi dasar
Partai Golkar mulai ingin dirubah.
Banyak yang beranggapan bahwa Partai
Golkar akan mengalami kemerosotan dalam pemilu yang diselenggarakan pasca
reformasi bergulir karena kekuatan ABRI mulai di tanggalkan. tetapi Golkar
tetaplah sebuah kekuatan politik yang stabil walaupun pada Pemilu 1999 kalah
dari partai PDIP. Kemapanan infrastruktur dan
suprastruktur partai ini menjadikan Golkar terlihat solid melewati transisi rezim
pada 1998. perolehan persentase suara Golkar cenderung stabil
berada dalam dua digit. Pada pemilihan umum 1999, Partai Golkar memperoleh
suara sebesar 22,44% dengan konversi perolehan kursi sebanyak 120 kursi di
parlemen, sebagai partai pemenang kedua setelah PDIP. Sementara pada pemilu
2004, perolehan suara Golkar adalah sebesar 23,27% naik tipis beberapa persen
namun dalam skema hasil kompetisi pemilu 2004 antar partai, Golkar adalah
partai dengan perolehan suara tertinggi. Sementara pada pemilu 2009.Golkar
mengalami penurunan perolehan suara hanya sebesar 14,45% suara—dengan konversi
perolehan kursi menjadi 107 kursi dan menjadi partai pemenang kedua setalah
Partai Demokrat dengan perolehan suara 20,85% (www.poltracking.com,
diakses 03/10/2014)
DAFTAR
PUSTAKA
Jatmiko, Bryan Andry. (2008) Dinamika
Partai Golkar 1998-2004. (Skripsi)
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret, Surakarta
Pratiwi, Yunda. (2012). Analisis
Perolehan Suara Partai Golkar Pada Pemilu 1999 di Indonesia Jurnal Dinamika Politik, 1 (2), hlm. 1-6
di akses: eprints.uns.ac.id/7550/1/172431512201011361.pdf
Sarimaya, Farida. (2009). Sejarah Birokrasi dan Kepartaian Di
Indonesia. Bandung: Rizqi Press
Tanpa
Nama. (2013). Sejarah Partai Golongan
Karya. [Online]. Diakses dari http://partaigolkar.or.id/golkar/sejarah-partai-golongan-karya/.
Tanpa Nama. (2014). Partai Golongan Karya (Partai Golkar). [Online]. Diakses dari http://www.poltracking.com/partai-golongan-karya-partai-golkar.